Malam ini sunyi tiada suara gemuruh dari petir, hanya hujan rintik yang menemani dikala isya’. Kucuran hujan yang memenuhi talang air bagaikan melodi harpa surgawi. Suara katak bersahutan melagukan orkestra alam yang riuh gemuruh.
Mengapa kau tak datang malam ini wahai Guntur? seperti biasa kau datang dengan sahabatmu Sang Badai. Apa kau sungkan melihatku yang muram ini? Aku yang memendam duka ini?.
Aku tau kau pasti tak akan mendengar celotehan anak ingusan sepertiku, tapi bisakah kau mengisyaratkan bahwa kau masih disana?, di kursi empuk berbalut selimut yang hangat. Aku hanya butuh kepastian dari sebuah ketidakhadiran.
Sungguh seharusnya engkau bahagia karena dia yang gagal kau bahagiakan sudah bahagia dengan orang lain. Untuk apa ada penyesalan didalam relung hati, itu sungguh menyesakkan. Jangan dipendam, katakan saja sejujurnya bahwa engkau menyesal telah meninggalkan dia, dan mintalah orang lain itu berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan engkau terhadap dia.
Relakan ia, engkau tak sepantasnya bersanding dengan sinar rembulan karena sadar engkau hanya sebuah genangan, cawan beralas tanah tempat minum anjing kehausan dengan liur najis mereka. Maka engkau telah mempelajari bahwa pengkhianatan hanya akan menyisakan penyesalan bagi si pengkhianat.
Lalu aku terdiam, diam penuh dengan tanya. Apakah Sang Guntur membenciku begitu juga Sang Badai?. Atas dasar apa mereka membenciku, aku hanyalah anak ingusan yang tak mengerti arti ini itu, bukankah seharusnya mereka tahu itu?. Tak ada jawaban sedikitpun dari Guntur dan Badai, hanya ada kesunyian dihiasi melodi rintik hujan dan orkestra katak rawa.
Lebih dari cukup diamku ini, sudah cukup untuk semua kepura-puraan sebagai topeng atas dasar keharmonisan. Persetan dengan keharmonisan demi orang lain, jika diri sendiri yang tersakiti. Logika dan perasaan telah mengoyak jiwa, tempat dimana semua yang tak terlihat adalah hal yang paling nyata.
Cinta dan sesal itu dirasakan oleh jiwa, ia yang selalu merasakan segala konsekuensi dan resiko yang telah dilakukan oleh logika dan perasaan. Sang jiwa hanya terdiam tak melawan, ia rela ditelanjangi oleh rakusnya logika dan tamaknya perasaan.
Sungguh seharusnya engkau bahagia karena dia yang gagal kau bahagiakan sudah bahagia dengan orang lain. Untuk apa ada penyesalan didalam relung hati, itu sungguh menyesakkan. Jangan dipendam, katakan saja sejujurnya bahwa engkau menyesal telah meninggalkan dia, dan mintalah orang lain itu berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan engkau terhadap dia.
Relakan ia, engkau tak sepantasnya bersanding dengan sinar rembulan karena sadar engkau hanya sebuah genangan, cawan beralas tanah tempat minum anjing kehausan dengan liur najis mereka. Maka engkau telah mempelajari bahwa pengkhianatan hanya akan menyisakan penyesalan bagi si pengkhianat.